KETIDAKMERATAAN PENDIDIKAN YANG BERPENGARUH
PADA SUMBER DAYA MANUSIA DI INDONESIA
Oleh Widhah Salma Dariswanda
18413244016
Pendidikan merupakan
hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Pendidikan
menurut UU No. 20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan adanya pendidikan, maka akan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dalam negara tersebut, namun harus diikuti dengan
kualitas pendidikan yang ada. Pendidikan dalam suatu bangsa harus memiliki kualitas yang tinggi agar
dalam pembentukan sumber daya manusianya berhasil. Di Indonesia sendiri,
pendidikan dengan kualitas sangat baik memang telah menjadi hal biasa di
kota-kota besar, namun ternyata di daerah terpencil masih banyak ditemui daerah
yang kondisi sarana prasarana dalam pelaksanaan pendidikannya sangat
memperihatinkan. Terdapat
beberapa faktor-faktor penghambat
sumber daya manusia untuk maju dalam dunia pendidikan diantaranya adalah jumlah guru yang
sedikit, fasilitas
yang tidak merata, perbedaan tingkat ekonomi masyarakat dan yang lainnya.
Ketidakmerataan pendidikan di Indonesia memang didasari
oleh berbagai faktor, yang pertama adalah jumlah guru yang terdapat di daerah 3T
sangat sedikit. Guru-guru yang benar-benar mengabdikan dirinya untuk mengajar
di daerah 3T dapat dihitung dengan jari. Bagi sebagian guru, mungkin melihat
daerah 3T sebagai daerah yang sulit dijangkau, jauh dari keramaian, dan kondisi
sekolah yang tidak sebaik di daerah perkotaan. Jika didaerah terpencil hanya
terdapat satu sekolah, kemudian guru yang mengajar pun juga hanya satu sampai
lima orang, sangat-sangat berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah di
perkotaan. Dengan jumlah guru yang sedikit, pastinya akan berpengaruh pada
penyampaian materi kepada siswa-siswanya. Guru yang memiliki dasar pendidikan
matematika misalnya, ia juga harus mengajar bahasa Indonesia, tentu hal itu
sangat kontras dan penyampaian materinya tidak sedalam guru yang mengampu mata
pelajaran tersebut. Para siswa pun akan mengalami kesulitan dalam memahami
materi, karena penyampaiannya tidak sedetail guru pengampu. Faktor lain yang
memengaruhi ketidakmerataan pendidikan di Indonesia adalah perbedaan fasilitas
pendidikan di daerah 3T dan kota. Di kota, fasilitas pendidikan sangat baik
dibandingkan dengan daerah yang jauh dari kota. Hal itu mungkin didasarkan pada
sulitnya akses menuju ke daerah tersebut, atau luput dari perhatian pemerintah.
Fasilitas seperti meja kursi yang kondisinya tidak baik lagi, papan tulis yang
menggunakan kapur, dan bangunan sekolah yang kondisinya tidak maksimal lagi,
tentu berpengaruh pada proses belajara mengajar siswa. Dengan begitu, maka siswa akan tidak nyaman
belajar dan mungkin saja mereka memutuskan untuk tidak bersekolah dan bekerja
saja.
Faktor yang selanjutnya adalah perbedaan tingkat ekonomi
di daerah terpencil dan kota. Di daerah terdepan, terluar dan tertinggal, masih
banyak terdapat warga yang kurang mampu, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari
mereka saja mereka masih belum cukup, apalagi untuk membiayai pendidikan
anak-anak mereka. Jika di kota, banyak warga yang mampu walaupun tidak
semuanya, mereka dapat menyekolahkan anak-anak mereka. Bagi warga di daerah
terpencil, mereka dapat menyekolahkan anak mereka apabila biaya pendidikannya
gratis dan ditanggung oleh pemerintah. Jika di daerah dekat rumah mereka tidak
terdapat sekolah, mereka memilih untuk tidak menyekolahkan anak mereka ke
daerah yang agak jauh namun terdapat sekolah. Hal itu karena biaya transport
dan biaya pendidikan ke daerah lain mahal. Oleh karenanya, banyak anak-anak
yang putus sekolah karena ketidakmampuan dalam membiayai pendidikan mereka.
Namun, kini sudah terdapat program pemerintah mengenai bantuan biaya pendidikan,
dan pelaksanaannya memang membiayai siswa-siswa kurang mampu dalam menempuh
pendidikan.
Di Indonesia, pendidikan didaerah 3T atau terdepan, terluar, dan tertinggal
memang
telah menjadi salah satu perhatian dari pemerintah. Dari kajian sosiologi antropologi pendidikan dapat
dianalisa bahwa pendidikan yang ada di daerah terpencil belum semuanya berjalan
secara maksimal. Masih terdapat guru-guru yang mungkin “gengsi” dan malas untuk
mengajar di daerah terpencil karena jauh dari
jangkauan. Padahal seharusnya semua sekolah, entah dekat dengan pusat kota
maupun jauh dari pusat kota memiliki fasilitas yang sama, seperti jumlah guru,
sarana prasarana yang memadai, sehingga dalam melaksanakan pembelajaran
siswa-siswa dapat menikmatinya dan nyaman saat belajar di sekolah. Oleh karenanya, guru yang
bertugas mengajar di sana seharusnya ditambah jumlahnya, tidak hanya
mengandalkan satu atau dua guru saja. Dengan jumlah guru yang cukup banyak,
akan membuat proses belajar mengajar di sekolah tersebut berjalan secara
efektif dan efisien, tidak perlu bergantian dalam melakukan pembelajaran.
Fasilitas-fasilitas pendidikan di daerah terpencil, juga perlu ditingkatkan.
Mengingat banyak anak-anak daerah 3T yang justru lebih semangat dalam menuntut
ilmu. Sehingga, dengan adanya peningkatan fasilitas pendidikan, siswa-siswa
akan kembali bersemangat belajar untuk mengejar cita-cita mereka.
Apabila
ketidakmerataan pendidikan tersebut tidak diatasi secara maksimal akan
berdampak pada kualitas sumber daya manusia yang ada. Guru-guru yang mengajar
tidak sesuai dengan keahliannya karena dipaksa oleh keadaan, tentu berdampak
pada siswanya. Selain itu, fasilitas pendidikan yang tidak memadai, akan
berdampak pada kenyamanan siswa ketika belajar. Apabila siswa-siswa tidak
nyaman dengan kondisi sekitarnya, mungkin saja mereka dapat memilih untuk tidak
bersekolah dan memilih dirumah saja karena fasilitas yang kurang memadai,
apalagi ditambah dengan akses ke sekolah yang sulit, menyebabkan mereka enggan
untuk meneruskan pendidikan mereka. Mahalnya biaya pendidikan dan pendukung
pendidikan, tentu memberatkan mereka yang kurang mampu. Sehingga, banyak anak
yang kurang mampu memilih untuk berhenti sekolah dan membantu orangtuanya
mencari uang untuk kehidupan sehari-hari.
Ketika hal-hal
tersebut terjadi, maka akan berdampak pada rendahnya kualitas sumberdaya
manusia di Indonesia. Hal itu karena seharusnya anak-anak generasi penerus
bangsa meneruskan pendidikan mereka hingga ke jenjang yang lebih tinggi justru memilih
untuk berhenti menempuh pendidikan dan memilih untuk mencari uang demi memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Pekerjaan yang mereka lakukan pun
mungkin belum sesuai dengan usia mereka, namun mereka tetap melakukannya karena
kondisi ekonomi mereka. Walaupun begitu, mungkin sebagian anak juga meneruskan
sekolah mereka, namun dengan kualitas sekolah yang masih rendah, sehingga mereka
pun juga kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang memiliki pendapatan tinggi.
Rendahnya sumber daya manusia tentu berdampak pada sulitnya mereka mendapatkan
pekerjaan yang mapan dan bisa membantu perekonomian keluarga mereka. Sehingga
diperlukan berbagai upaya agar dapat meningkatkan mutu pendidikan, memeratakan
pendidikan hingga ke pelosok negeri dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia dengan berbagai cara.
Referensi :
Jurnal Mutu Pendidikan dan
Pemerataan Pendidikan di Daerah, PSIKOPEDAGOGIA Volume 1 Nomor 2, Desember 2012
diakses pada 18 November pukul 16.28 WIB
https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-pendidikan.html diakses pada 18 November
2019 pukul 18.31 WIB